Ngentot Pembantu Janda
Cerita sex dewasa
Sebuah kisah seks atau cerita dewasa seorang majikan bersetubuh atau ngentot dengan pembantu rumah tangganya. Umurku baru 28 tahun ketika diangkat jadi manager area sebuah perusahaan consumer goods. Aku ditempatkan di Semarang dan diberi fasilitas rumah kontrakan tipe 45. Setelah 2-3 minggu tinggal sendirian di rumah itu lama-lama aku merasa capai juga karena harus melakukan pekerjaan rumah tangga seperti nyapu, ngepel, cuci pakaian, cuci perabot, bersih-bersih rumah tiap hari. Akhirnya kuputuskan cari pembantu rumah tangga yang kugaji sendiri daripada aku sakit. Lewat sebuah biro tenaga kerja, sore itu datanglah seorang wanita sekitar 35 tahunan, Sumiyati namanya, berasal dari Wonogiri dan sudah punya dua anak yang tinggal bersama ortunya di desa. “Anaknya ditinggal dengan neneknya
tidak apa-apa, Mbak?” tanyaku. “Tidak, pak. Mereka kan sudah besar-
besar, sudah SMP dan SD kelas 6,”
jawabnya. “Lalu suami Mbak Sum dimana?” “Sudah meninggal tiga tahun lalu
karena tbc, pak.” “Ooo.. pernah kerja di mana saja,
Mbak?” “Ikut rumah tangga, tapi berhenti
karena saya tidak kuat harus kerja
terus dari pagi sampai malam, maklum
keluarga itu anaknya banyak dan masih
kecil-kecil.. Kalau di sini kan katanya
hanya bapak sendiri yang tinggal, jadi pekerjaannya tidak berat sekali.” Dengan janji akan kucoba dulu selama
sebulan, jadilah Mbak Sum mulai kerja
hari itu juga dan tinggal bersamaku.
Dia kuberi satu kamar, karena memang
rumahku hanya punya dua kamar.
Tugas rutinnya, kalau pagi sebelum aku ke kantor membersihkan kamarku dan
menyiapkan sarapanku. Setelah aku ke
kantor barulah ruangan lain, nyuci,
belanja, masak dst. Dia kubuatkan
kunci duplikat untuk keluar masuk
rumah dan pagar depan. Setelah seminggu tinggal bersama, kami
bertambah akrab. Kalau di rumah dan
tidak ada tamu dia kusuruh
memanggilku “Mas” bukan “bapak”
karena usianya tua dia. Beruntung dia
jujur dan pintar masak sehingga setiap pagi dan malam hari aku dapat makan
di rumah, tidak seperti dulu selalu jajan
ke luar. Waktu makan malam Mbak
Sum biasanya juga kuajak makan
semeja denganku. Biasanya, selesai
cuci piring dia nonton TV. Duduk di permadani yang kugelar di depan
pesawat. Kalau tidak ada kerjaan yang
harus dilembur aku pun ikut nonton TV.
Aku suka nonton TV sambil tiduran di
permadani, sampai-sampai ketiduran
dan seringkali dibangunkan Mbak Sum supaya pindah ke kamar. Suhu udara Semarang yang tinggi
sering membuat libidoku jadi cepat
tinggi juga. Lebih lagi hanya tinggal
berdua dengan Mbak Sum dan setiap
hari menatap liku-liku tubuh
semoknya, terutama kalau dia pakai daster di atas paha. (Kalau
digambarkan bodynya sih mirip-mirip
Yenny Farida waktu jadi artis dulu).
Maka lalu kupikir-pikir rencana terbaik
untuk bisa mendekap tubuhnya. Bisa
saja sih aku tembak langsung memperkosanya toh dia nggak bakal
melawan majikan, tapi aku bukan
orang jenis itu. Menikmatinya
perlahan-lahan tentu lebih memberi
kepuasan daripada langsung tembak
dan cuma dapat nikmat sesaat. “Mbak Sum bisa mijit nggak?” tanyaku
ketika suatu malam kami nonton TV
bareng. Dia duduk dan aku tiduran di
permadani. “Kalau asal-asalan sih bisa, Mas,”
jawabnya lugu. “Nggak apa-apa, Mbak. Ini lho,
punggungku kaku banget.. Seharian
duduk terus sampai nggak sempat
makan siang. “Tolong dipijat ya,
Mbak..” sambil aku tengkurap. Mbak Sum pun bersimpuh di sebelahku.
Tangannya mulai memijat punggungku
tapi matanya tetap mengikuti sinetron
di TV. Uuhh.. nikmatnya disentuh
wanita ini. Mata kupejamkan,
menikmati. Saat itu aku sengaja tidak pakai CD (celana dalam) dan hanya
pakai celana olahraga longgar. “Mijatnya sampai kaki ya, Mbak,”
pintaku ketika layar TV menayangkan
iklan. “Ya, Mas,” lalu pijatan Mbak Sum mulai
menuruni pinggangku, terus ke pantat. “Tekan lebih keras, Mbak,” pintaku lagi
dan Mbak Sum pun menekan pantatku
lebih keras. Penisku jadi tergencet ke permadani,
nikmat, greng dan semakin..
berkembang. Aku tak tahu apakah
Mbak Sum merasakan kalau aku tak
pakai CD atau tidak. Tangannya terus
meluncur ke pahaku, betis hingga telapak kaki. Cukup lama juga, hampir
30 menit. “Sudah capai belum, Mbak?” “Belum, Mas.” “Kalau capai, sini gantian, Mbak
kupijitin,” usulku sambil bangkit
duduk. “Nggak usah, Mas.” “Nggak apa-apa, Mbak. Sekarang
gantian Mbak Sum tengkurap,”
setengah paksa dan merajuk seperti
anak-anak kutarik tangannya dan
mendorong badannya supaya
telungkup. “Ah, Mas ini, saya jadi malu..” “Malu sama siapa, Mbak? Kan nggak
ada orang lain?” Agak canggung dia telungkup dan
langsung kutekan dan kupijit
punggungnya supaya lebih tiarap lagi.
Kuremas-remas dan kupijit-pijit
punggung dan pinggangnya. “Kurang keras nggak, Mbak?” “Cukup, Mas..” Sementara matanya
sekarang sudah tidak lagi terlalu
konsentrasi ke layar kaca. Kadang
merem melek. Tanganku mencapai
pantatnya yang tertutup daster.
Kuremas, kutekan, kadang tanganku kusisipkan di antara pahanya hingga
dasternya mencetak pantat gempal itu.
Kusengaja berlama-lama mengolah
pantatnya, toh dia diam saja. “Pantat Mbak empuk lo..” godaku
sambil sedikit kucubit. “Ah, Mas ini bisa saja.. Mbak jadi malu
ah, masak pembantu dipijitin
juragannya.. Sudah ah, Mas..” pintanya. Sambil berusaha berdiri. “Sabar, Mbak, belum sampai ke
bawah,” kataku sambil mendorongnya
balik ke permadani. “Aku masih kuat kok.” Tanganku bergerak ke arah pahanya.
Meremas-remas mulai di atas lutut
yang tidak tertutup daster, lalu makin
naik dan naik merambat ke balik
dasternya. Mbak Sum mula-mula diam
namun ketika tanganku makin tinggi memasuki dasternya ia jadi gelisah. “Sudah, Mas..” “Tenang saja, Mbak.. Biar capainya
hilang,” sahutku sambil menempelkan
bagian depan celanaku yang menonjol
ke samping pahanya yang kanan
sementara tanganku memijat sisi kiri
pahanya. Sengaja kutekankan “tonjolan”ku. Dan seolah tanpa sengaja
kadang-kadang kulingkarkan jari
tangan ke salah satu pahanya lalu
kudorong ke atas hingga menyentuh
bawah vaginanya. Tentu saja
gerakanku masih di luar dasternya supaya ia tidak menolak. Ingin kulihat
reaksinya. Dan yang terdengar hanya
eh.. eh.. eh.. tiap kali tanganku
mendorong ke atas. “Sekarang balik, Mbak, biar depannya
kupijat sekalian..” “Cukup, Mas, nanti capai..” “Nggak apa-apa, Mbak, nanti gantian
Mbak Sum mijit aku lagi..” Kudorong balik tubuhnya sampai
telentang. Daster di bagian pahanya
agak terangkat naik. Mula-mula
betisnya kupijat lagi lalu tanganku
merayap ke arah pahanya. Naik dan
terus naik dan dasternya kusibak sedikit sedikit sampai kelihatan CD-
nya. “Mbak Sum pakai celana item ya?”
gurauku sampai dia malu-malu. “Saya jadi malu, Mas, kelihatan
celananya..” sambil tangannya
berusaha menurunkan dasternya lagi. “Alaa.. yang penting kan nggak
kelihatan isinya to, Mbak..” godaku lagi
sambil menahan tangannya dan
mengelus gundukan CD-nya dan
membuat Mbak Sum menggelinjang. Tangannya berusaha menepis
tanganku. Melihat reaksinya yang tidak
terlalu menolak, aku tambah berani.
Dasternya makin kusingkap sehingga
kedua pahanya yang besar mengkal
terpampang di depanku. Namun aku tidak terburu nafsu. Kusibakkan kedua
belah paha itu ke kiri-kanan lalu aku
duduk di sela-selanya. Kupijat-pijat
pangkal paha sekitar selangkangannya
sambil sesekali jariku nakal
menelusupi CD-nya. “Egh.. egh.. sudah Mas, nanti
keterusan..” tolaknya lemah. Tangannya berusaha menahan
tanganku, tapi tubuhnya tak
menunjukkan reaksi menolak malah
tergial-gial setiap kali menanggapi
pijitanku. “Keterusan gimana, Mbak?” tanyaku
pura-pura bodoh sambil memajukan
posisi dudukku sehingga penisku
hampir menyentuh CD-nya. Dia diam
saja sambil tetap memegangi
tanganku supaya tidak keterusan. “Ya deh, sekarang perutnya ya, Mbak..” Tanganku meluncur ke arah perutnya
sambil membungkuk di antara
pahanya. Sambil memijat dan
mengelus-elus perutnya, otomatis
zakarku (yang masih terbungkus
celana) menekan CD-nya. Merasa ada tekanan di CD-nya Mbak Sum segera
bangun. “Jangan Mas.. nanti keterusan.. Tidak
baik..” lalu memegang tanganku dan
setengah menariknya. Kontan tubuhku malah tertarik maju
dan menimpanya. Posisi zakarku tetap
menekan selangkangannya sedang
wajah kami berhadap-hadapan sampai
hembusan nafasnya terasa. “Jangan, Mas.. jangan..” pintanya
lemah. “Cuma begini saja, nggak apa-apa kan
Mbak?” ujarku sambil mengecup
pipinya. “Aku janji, Mbak, kita hanya akan
begini saja dan tidak sampai copot
celana,” sambil kupandang matanya
dan pelan kugeser bibirku menuju ke
bibirnya. Dia melengos tapi ketika kepalanya
kupegangi dengan dua tangan jadi
terdiam. Begitu pula ketika lidahku
menelusuri relung-relung mulutnya dan
bibir kami berciuman. Sesaat
kemudian dia pun mulai merespons dengan hisapan-hisapannya pada lidah
dan bibirku. Targetku hari itu memang belum akan
menyetubuhi Mbak Sum sampai
telanjang. Karena itulah kami
selanjutnya hanya berciuman dan
berpelukan erat-erat, kutekan-
tekankan pantatku. Bergulingan liar di atas permadani. Kuremas-remas
payudaranya yang montok mengkal di
balik daster. Entah berapa jam kami
begituan terus sampai akhirnya kantuk
menyerang dan kami tertidur di
permadani sampai pagi. Dan ketika bangun Mbak Sum jadi tersipu-sipu. “Maaf ya, Mas,” bisiknya sambil
memberesi diri. Tapi tangannya kutarik sampai ia jatuh
ke pelukanku lagi. “Nggak apa-apa, Mbak. Aku suka kok
tidur sambil pelukan kayak tadi. Tiap
malam juga boleh kok..” candaku. Mbak Sum melengos ketika melihat
tonjolan besar di celanaku. Sejak saat itu hubunganku dengan
Mbak Sum semakin hangat saja. Aku
bebas memeluk dan menciumnya
kapan saja. Bagai istri sendiri. Dan
terutama waktu tidur, kami jadi lebih
suka tidur berdua. Entah di kamarku, di kamarnya atau di atas permadani.
Sengaja selama ini aku menahan diri
untuk tidak memaksanya telanjang
total dan berhubungan kelamin.
Dengan berlama-lama menahan diri ini
lebih indah dan nikmat rasanya, sama seperti kalau kita menyimpan
makanan terenak untuk disantap
paling akhir. Hingga suatu malam di ranjangku yang
besar kami saling berpelukan. Aku
bertelanjang dada dan Mbak Sum pakai
daster. Masih sekitar jam 9 waktu itu
dan kami terus asyik berciuman,
berpagutan, berpelukan erat-erat saling raba, pijat, remas. Kuselusupkan
tanganku di bawah dasternya lalu
menariknya ke atas. Terus ke atas
hingga pahanya menganga, perutnya
terbuka dan akhirnya beha putihnya
nampak menantang. Tanpa bicara dasternya terus kulepas lewat
kepalanya. “Jangan, Mas..” Mbak Sum menolak. “Nggak apa-apa, Mbak, cuma dasternya
kan..” rayuku. Dia jadi melepaskan tanganku. Juga
diam saja ketika aku terang-terangan
membuka celana luarku hingga kami
sekarang tinggal berpakaian dalam.
Kembali tubuh gempal janda montok
itu kugeluti, kuhisap-hisap puncak branya yang nampak kekecilan
menampung teteknya. Mbak Sum
mendesis-desis sambil meremasi
rambut kepalaku dan menggapitkan
pahanya kuat-kuat ke pahaku. “Mbak Sum pingin kita telanjang?”
tanyaku. “Jangan, Mas. Pingin sih pingin.. tapi..
gimana ya..” “Sudah berapa lama Mbak Sum tidak
ngeseks?” “Ya sejak suami Mbak meninggal.. kira-
kira tiga tahun..” “Pasti Mbak jadi sering masturbasi ya?” “Kadang-kadang kalau sudah nggak
tahan, Mas..” “Kalau main dengan pria lain?” “Belum pernah, Mas..” “Masak sih, Mbak? masak nggak ada
yang mau?” “Bukan begitu, tapi aku yang nggak
mau, Mas..” “Kalau sama aku kok mau sih, Mbak?”
godaku lagi. “Ah, kan Mas yang mulai.. dan lagi, kita
kan nggak sampai anu..” “Anu apa, Mbak?” “Ya itu.. telanjang gitu..” “Sekarang kita telanjang ya, Mbak..” “Eee.. kalau hamil gimana, Mas?” “Aku pakai kondom deh..” “Ng.. tapi itu kan dosa, Mas?” “Kalau yang sekarang ini dosa nggak,
Mbak?” tanyaku mentesnya. “Eee.. sedikit, Mas,” jawabnya bingung. Aku tersenyum mendengar jawaban
mengambang itu dan kembali
memeluk erat-erat tubuh sekalnya
yang menggemaskan. Kuremas dan
kucium-cium pembungkus teteknya. Ia
memeluk punggungku lebih erat. Kuraba-raba belakang punggungnya
mencari lalu melepas kaitan branya. “Ja..jangan, Mas..” Bisiknya tanpa
reaksi menolak dan kulanjutkan
gerakanku. Mbak Sum hanya melenguh kecil ketika
branya kutarik dan kulemparkan entah
kemana. Dua buah semangka segar itu
langsung kukemut-kemut putingnya.
Kuhisap, kumasukkan mulut sebesar-
besarnya, kugelegak, sambil kulepas CD-ku. Mbak Sum terus mendesis-desis
dan bergetar-getar tubuhnya. Kami
bergumul berguling-guling. Kutekan-
tekan selangkangannya dengan
zakarku. “Gimana, Mbak.. sudah siap kuperawani?” tanganku menjangkau CD-nya dan hendak melepasnya. “Jangan, Mas. Kalau hamil gimana?” “Ya ditunggu saja sampai lahir to,
Mbak..” gurauku sambil berusaha
menarik lepas CD-nya. Mbak Sum berusaha memegangi CD-nya
tapi seranganku di bagian atas
tubuhnya membuatnya geli dan
tangannya jadi lengah. Cd-nya pun
merosot melewati pantatnya. “Kalau hamil, siapa yang ngurus
bayinya?” “Ya, Mbak lah, kan itu anakmu..
tugasku kan cuma bikin anak, bukan
ngurusi anak..” godaku terus. “Dasar, mau enaknya sendiri..” Mbak
Sum memukulku pelan, tangannya
berusaha menjangkau CD dari bawah
pahanya tapi kalah cepat dengan
gerakanku melepas CD itu dari kakinya.
Buru-buru kukangkangkan pahanya lalu kubenamkan lidahku ke situ. Slep..
slep.. slep.. Mbak Sum melenguh dan
menggeliat lagi sambil meremasi
kepalaku. Nampak dia berada dalam
kenikmatan. Beberapa menit
kemudian, aku memutar posisi tubuhku sampai batang zakarku tepat
di mulutnya sementara lidahku tetap
beroperasi di vulvanya. Dengan agak
canggung-canggung dia mulai
menjilati, mengulum dan
menghisapnya. Vulvanya mulai basah, zakarku menegang panjang. Eksplorasi
dengan lidah kuteruskan sementara
tanganku memijit-mijit sekitar
selangkangan hingga anusnya. “Agh.. agh.. Maas.. ak.. aku..” Mbak Sum tak mampu bersuara lagi,
hanya pantatnya terasa kejang
berkejat-kejat dan mengalirlah cairan
maninya mengaliri mulutku. Kugelegak
sampai habis cairan bening itu. “Isap anuku lebih keras, Mbak!”
perintahku ketika kurasakan maniku
juga sudah di ujung zakar. Dan benar saja, begitu diisap lebih
keras sebentar kemudian spermaku
menyembur masuk ke kerongkongan
Mbak Sum yang buru-buru melepasnya
sampai mulutnya tersedak berlepotan
sperma. Kami pun terjelepak kelelahan. Kuputar tubuhku lagi dan
malam itu kami tidur telanjang
berpelukan untuk pertama kalinya.
Tapi zakarku tetap tidak memerawani
vaginanya. Aku masih ingin menyimpan
“makanan terenak” itu berlama-lama. Selanjutnya kegiatan oral seks jadi
kegemaran kami setiap hari. Entah
pagi, siang maupun malam bila salah
satu dari kami (biasanya aku yang
berinisiatif) ingin bersetubuh ya
langsung saja tancap. Entah itu di kamar, sambil mandi bersama atau
bergulingan di permadani. Tiap hari
kami mandi keramas dan entah berapa
banyak bercak mani di permadani.
Selama itu aku masih bertahan dan
paling banter hanya memasukkan kepala zakarku ke vaginanya lalu
kutarik lagi. Batangnya tidak sampai
masuk meski kadang Mbak Sum sudah
ingin sekali dan menekan-nekan
pantatku. “Kok nggak jadi masuk,
Mas?” tanyanya suatu hari. “Apa Mbak siap hamil?” balikku. “Kan aku bisa minum pil kabe to Mas..” “Bener nih Mbak rela?” jawabku
menggodanya sambil memasukkan lagi
kepala zakarku ke memeknya yang
sudah basah kuyup. “Heeh, Mas,” dia mengangguk. “Mbak nggak merasa bersalah sama
suami?” “Kan sudah meninggal, Mas.” “Sama anak-anak?” Ia terdiam sesaat, lalu jawabnya lirih,
“A.a.. aku kan juga masih butuh seks,
Mas..” “Mana yang Mbak butuhkan, seks atau
suami?” tanyaku terus ingin tahu isi
hatinya. Kuangkat lagi kepala zakarku dari
mulut memeknya lalu kusisipkan saja
di sela-sela pahanya. “Pinginnya sih suami, Mas.. tapi kalo
Mas jadi suamiku kan nggak mungkin
to.. Aku ini kan cuma orang desa dan
pembantu..” jawabnya jujur. “Jadi, kalau sama aku cuma butuh
seksnya aja ya Mbak? Mbak cuma butuh
nikmatnya kan? Mbak Sum pingin bisa
orgasme tiap hari kan?” Mbak Sum tersipu. Tidak menjawab
malah memegang kepalaku dan
menyosor bibirku dengan bibirnya.
Kami kembali berpagutan dan
bergulingan. Zakar besar tegangku
terjepit di sela pahanya lalu cepat- cepat aku berbalik tubuh dan
memasukkan ke mulutnya. Otomatis
Mbak Sum menghisap kuat-kuat
zakarku sama seperti aku yang segera
mengobok-obok vaginanya dengan tiga
jari dan lidahku. Sejenak kemudian kembali kami orgasme dan ejakulasi
hampir bersamaan. Yah, bisakah
pembaca bersetubuh seperti kami?
Saling memuasi tanpa memasukkan
zakar ke vagina. Hubungan nikmat ini terus berlangsung
hingga suatu sore sepulangku kerja
Mbak Sum memberiku sekaplet pil
kabe dan sekotak kondom kepadaku. “Sekarang terserah Mas, mau pakai
yang mana? Mbak sudah siap..”
tantangnya. Aku jadi membayangkan penisku
memompa vaginanya yang
menggunduk itu. “Mbak benar-benar ikhlas?” tanyaku. “Lha memang selama ini apa Mas? Saya
kan sudah pasrah diapakan saja sama
Mas.” “Mbak tidak kuatir meskipun aku
nggak bakalan jadi suami Mbak?”
lanjutku sambil berjaga-jaga untuk
menghindari resiko bila terjadi sesuatu
di belakang hari. “Saya sudah ikhlas lega lila, mau
dikawini saja tiap hari atau dinikahi
sekalian terserah Mas saja. Saya benar-
benar tidak ada pamrih apa-apa di
belakang nanti.. Saya hanya ingin kita
berhubungan seks dengan maksimal.. tidak setengah-setengah seperti
sekarang ini..” Haah, ternyata Mbak Sum pun jadi
berkobar nafsu syahwatnya setelah
berhubungan seks denganku secara
khusus selama ini. Ternyata wanita ini
memendam hasrat seksual yang besar
juga. Sampai rela mengorbankan harga dirinya. Aku jadi tak tega, tapi
sekaligus senang karena tidak bakal
menanggung resiko apapun dalam
berhubungan seks dengan dia. Aku
selama ini kan memang hanya
mengejar nafsu dan nampaknya Mbak Sum pun terbawa iramaku itu. Ya, seks
hanya untuk kesenangan nafsu dan
tubuh. Tanpa rasa cinta. Tidak perlu
ada ketakutan terhadap resiko harus
menikahi, punya anak dsb. Kapan lagi
aku dapat prt sekaligus pemuas nafsu dengan tarif semurah ini (gajinya
sebulan 150 ribu rupiah kadang
kutambah 50 atau 100 ribu kalau ada
rejeki lebih). Bandingkan biayanya bila
aku harus cari wanita penghibur setiap
hari. Dan kayaknya yang seperti inilah yang disukai para pria pengobral zakar
dan mungkin sebagian besar pembaca
17Tahun inipun termasuk di dalamnya.
Mau nikmatnya, nggak mau pahitnya.
Begitu, kan? Ngaku ajalah, nggak usah
cengar-cengir kayak monyet gitu. Soal seks kita sama dan sebangun kok. He
he he.. “Sekarang aku mau mandi dulu, Mbak.
Urusan itu pikirin nanti saja,” jawabku
sambil melepas pakaian dan jalan ke
kamar mandi bertelanjang. Kutarik tangan Mbak Sum untuk
menemaniku mandi. Pakaiannya pun
sudah kulepasi sebelum kami sampai
ke pintu kamar mandi. Hal seperti ini
sudah biasa kami lakukan. Saling
menggosok dan memandikan sambil membangkitkan nafsu-nafsu erotis
kami. Dan acara mandi bersama selalu
berakhir dengan tumpahnya sperma
dan mani kami bersama-sama karena
saling isep. Dan godaan untuk bermain seks
dengan tuntas semakin besar setelah
ada pil kabe dan kondom yang dibeli
Mbak Sum. Esok malamnya eksperimen
itu akan kami mulai dengan kondom
lebih dulu. Soalnya aku takut kalau ada efek samping bila Mbak Sum minum pil
kabe. Kata orang kalau nggak cocok
malah bikin kering rahim. Kan kasihan
kalau orang semontok Mbak Sum
rahimnya kering. Malam itu seusai
makan malam dan nonton TV sampai jam sembilan, kami mulai bergulingan
di permadani. Satu persatu penutup
tubuh kami bertebaran di lantai.
Putingya kupelintir dan sebelah lagi
kukemut dan kugigit-gigit kecil
sementara tangan kananku menggosok-gosok pintu memek Mbak
Sum sampai dia mengerang-erang mau
orgasme. “Sekarang pakai ya, Mas,” bisiknya
sambil menggenggam kencang
zakarku yang tegang memanjang. “Heeh,” jawabku lalu dia menjangkau
sebungkus kondom yang sudah kamu
sediakan di sebelah TV. Disobeknya lalu karet tipis berminyak
itu pelan-pelan disarungkannya ke
penisku. Mbak Sum nampak hati-hati
sekali. “Wah, jadi gak bisa diisep Mbak nih,”
kataku. “Kan yang ngisep ganti mulut bawah,
Mas..” Guraunya membuatku tersenyum
sambil terus meremas-remas teteknya. Sleeb.. lalu karet tipis itupun
digulungnya turun sampai menutupi
seluruh batangku. “Sudah, Mas,” katanya sambil
menelentangkan tubuh dan
mengangkan pahanya lebar-lebar. Perlahan aku mengangkanginya. “Sekarang ya, Mbak,” bisikku sambil
memeluknya mesra. Mbak Sum memejamkan mata.
Perlahan zakarku dipegang, diarahkan
ke lobang nikmatnya. Kuoser-oser
sebentar di depan pintunya barulah
kudesakkan masuk. Masuk separuh.
Mbak Sum melenguh.. “Sakit Mbak?” “Sedikit..” Kuhentikan sebentar lalu kudorong lagi
pelan-pelan dan dia mulai melepasnya.
Bless.. slep.. kugerakkan pantatku
maju-mundur naik-turun. Matanya
merem melek, tangan kami
berpelukan, tetek tergencet dadaku, bibir kami saling kulum. Kugenjot
terus, kupompa, kubajak, kucangkul,
kumasuki, kubenamkan, dalam dan
semakin dalam, gencar, cepat dan
kencang. Sampai akhirnya gerakkanku
terhambat ketika mendadak Mbak Sum memelukkan pahanya erat-erat ke
pahaku. “Akk.. aku sampai Mas.. egh.. egh..” Dan seerr.. terasa cairan hangat
menerpa zakarku. Kuhentikan
gerakanku, dan hanya
membenamkannya dalam-dalam.
Menekan dan menekan masuk. Rasanya
agak kurang enak karena batangku terbungkus karet tipis itu. Kubiarkan Mbak Sum istirahat sejenak sebelum aku mulai memompanya lagi bertubi-tubi sambil kueksplorasi bagian sensitif tubuhnya hingga dia kembali terangsang. “Mbak pingin keluar lagi?” tanyaku. “Kk.. kalau bisa, Mas.. keluar sama-
sama..” ajaknya sambil mulai
menggoyang dan memutar-mutar
bokongnya. Aku merasakan nikmat yang belum
pernah kurasakan. Soalnya kan baru
pertama kali ini zakarku menancapi
lubangnya. Ternyata hebat juga
goyangannya. Goyang ngebornya Inul,
ngecornya Denada atau ngedennya Camelia Malik kalah jauh deh.. soalnya
mana mungkin aku ngrasain vagina
mereka kan? Dan kenikmatan itu
semakin terasa diujung batangku.
Gerakan pompaku semakin cepat dan
cepat. “Mbak.. hh.. hh.. hh..” dengus nafasku
terus memacu gerak maju mundur
pantatku. Sementara dengan tak kalah brutalnya
Mbak Sum melakukan yang sama dari
bawah. “Ak.. aku sudah mau Mbak..” pelukku
ketat ke tubuhnya. Kutindih, kuhunjamkan dalam-dalam,
kuhentakkan ketika sperma keluar dari
ujung batangku. Yang pasti Mbak Sum
tak bakalan merasakan semburannya
karena toh sudah tertampung di ujung
kondom. Sejenak kemudian Mbak Sum pun meregang dan berkejat-kejat
beberapa kali sambil membeliak-
beliak matanya. Dia orgasme lagi.
Tubuhnya tetap kutelungkupi. Nafas
kami memburu. Mata kami terpejam
kecapaian. “Puas, Mbak?” bisikku sambil mengulum telinganya. Dia
mengangguk kecil. Kami kembali tidur
berpelukan. Mungkin dia tengah
membayangkan tidur dengan
suaminya. (Sementara aku tidak
membayangkan apapun kecuali sesosok daging mentah kenyal yang
siap kugenjot setiap saat). Hehehe..
kasihan Mbak Sum kalau dia tahu otak
mesumku. Tapi kenapa mesti
dikasihani kalau dia juga menikmati?
Ya kan? Ya kan? Aku sering bertanya- tanya: Bila seorang wanita orgasme
ketika dia diperkosa, apakah itu bisa
disebut perkosaan? Siapa bisa jawab? Sambil menunggu jawab Anda, aku dan
Mbak Sum terus mereguk kepuasan
dengan pakai kondom. Sayangnya satu
kondom hanya bisa dipakai satu kali
main. Kalau lebih dikuatirkan bocor.
Makanya hanya dalam sehari itu kondom satu dus habislah sudah. Anda
bisa hitung sendiri berapa kali aku
ejakulasi. Esoknya, “Mbak, kondomnya habis, mau
pakai pil?” tanyaku. “Boleh,” jawabnya santai. Dan malam itu mulailah ia minum pil
sesuai jadwal dan hasilnya.. ternyata
kami lebih puas karena tidak ada lagi
selaput karet tipis yang menahan
semburan spermaku memasuki gua
garba Mbak Sum. “Mas.. Mas.. semprot terus Mas, enak
banget..” serunya ketika aku ejakulasi
sambil berkejat-kejat diatas pahanya
belasan kali menghunjamkan zakar
yang menyemprot puluhan kali. Dari cret, crit, crut, crat sampai crot crot
crot lalu cret cret cret lagi!! Soal rahim
kering sudah tak kupikir lagi. Biar saja
mau kering mau basah wong yang
melakukan manggut-manggut saja tuh.
Yah, dalam semalam minimal kami pasti sampai tiga kali orgasme dan
ejakulasi. Sedangkan pagi atau siang
tidak selalu kami lakukan. Kami
bagaikan sepasang maniak seks.
Ditambah vCD-vCD triple-x yang
kutontonkan padanya, Mbak Sum jadi semakin ahli mengolah persetubuhan
kami jadi kenikmatan tiada tara.
Created at 2014-11-27 02:50:06
Back to posts
This post has no comments - be the first one!
UNDER MAINTENANCE