SEPUPUKU
Kisah ini bermula setahun yang lalu,
dimana aku harus jaga rumah,
karena anak dan istriku sedang berkunjung
ke saudaranya selama lebih dari seminggu.
Sore itu sekitar jam lima sore, teleponku
berdering, lalu kuangkat dan terdengar suara lembut seorang wanita namun
dengan background yang lumayan ramai.
"Halo..., Dik Yanti ada", suara itu sepertinya
kukenal, namun sungguh aku lupa siapa
dia, yang lebih membuatku bertanya-tanya,
dia mencari istriku (Yanti). Aku pun menjawab apa adanya "Yanti
sedang ke Solo, ada yang bisa saya bantu?".
"Lho, ini Dik Bandi ya..., aku Arie, Dik, aku
sedang di terminal bis, boleh aku mampir
ke rumahmu sebentar?", belum sempat
kujawab permintaannya, telepon sudah ditutup, dan aku sendiri masih bertanya-
tanya, siapa Arie itu?
Selang satu jam kemudian, ada sebuah taxi
yang berhenti di depan rumah, aku melihat
dari arah dalam jendela rumah, seorang
wanita muda keluar serta menenteng sebuah tas traveler yang lumayan besar. Di
bawah keremangan sinar lampu jalan, aku
mulai bisa melihat wajahnya. Ya ampun...,
ternyata dia adalah Mbak Arie, kakak
sepupuku. Meskipun dia kupanggil "Mbak"
tapi dia sepuluh tahun muda dariku, dia anak budeku, kakak dari ibuku. Tersentak
aku dari kekagetanku, manakala dia
berusaha membuka pintu pagar, akupun
berlari menyambutnya, menenteng tasnya
yang..., ups ternyata lumayan berat.
Kupersilakan dia untuk istirahat sebentar di ruang tamu, dan kuletakkan traveler
bagnya di kamar depan, yang memang
biasanya selalu kosong itu.
Aku bergegas menemui Mbak Arie dan
mengajaknya ngobrol sebentar.
"Mbak Arie mau kemana?". "Aku mau ke Bali Dik, tempat kerjaku
pindah ke sana".
Kenanganpun muncul, tatkala aku menatap
wajahnya lekat-lekat. Sungguh ia belum
berbeda ketika aku bertemu dia sembilan
tahun yang lalu, ketika ia masih kelas tiga SMP.
Arie adalah gadis yang manis, sekilas ia
seperti artis Maudy Koesnaedy. Tubuhnya
yang putih bersih dengan tinggi sedang
dibalut T-shirt MCM putih dan celana jeans
strecth yang membungkus pinggul dan kakinya yang indah (paling tidak
menurutku). Payudaranya sedang besarnya,
padahal dulu lumayan kecil kalau tidak bisa
dibilang rata. Aku bisa mengatakan
demikian, karena dulu sungguh kenangan
ini seperti barusan kemarin terjadi. Waktu itu (sembilan tahun yang lalu dan
masih bujangan), aku berkunjung ke
rumahnya (di sebuah kota besar di Jawa
Tengah), selama seminggu aku tinggal di
rumahnya yang besar, yang dihuni Bude,
Mas Bayu (sulung) dan Mbak Arie(ragil). Aku sendiri seperti menaruh perhatian khusus
kepadanya. Aku tidak tahu ini perasaan
sayang atau hanya sekedar suka saja. Ia
kelihatan bongsor untuk anak seusianya 14
tahun, namun sungguh, ia seperti kekanak-
kanakan. Sering di saat aku membantunya dalam belajar bahasa Inggris, kucium
keningnya disaat ia mulai suntuk, untuk
memberi semangat supaya giat belajar
kembali, namun lama- lama perasaan yang
sekedar memberi semangat itupun
berubah, aku sering juga mencium kelopak matanya, pipinya dan akhirnya kucium
bibirnya disaat ia benar-benar ketiduran di
atas meja belajarnya, karena kupaksa
untuk menyelesaikan latihan ulangannya.
Kugendong tubuhnya untuk kupindah ke
tempat tidurnya. Mbak Arie tak bergerak sedikitpun, saat kubaringkan di
ranjangnya, terlalu capek rupanya.
Terkesiap sejenak aku dibuatnya,
jantungku mulai berdegup kencang, saat
kulihat rok mininya tersingkap ke atas.
Penisku mendadak menggeliat bangun. Kukunci pintu kamarnya, entah dorongan
dari mana, ada keinginan untuk mencium
kemaluannya. Perlahan- lahan kuturunkan
celana dalamnya dan terlepas. Kulihat
lekat-lekat liang kewanitaannya yang tak
satupun bulu tumbuh diatasnya, sebuah gundukan daging yang mengundang
hasratku untuk segera menciumnya.
Kuangkat kedua pahanya, sehingga posisi
kakinya membentuk huruf "O". Clitorisnya
yang merah muda menyembul keluar.
Akupun menciumnya lembut dan aroma kemaluan seorang perawan yang khaspun
tercium. Penisku semakin tegang dan sakit,
karena posisiku yang kurang
menguntungkan. Aku terus mencium dan
menjilati naik turun. Lubang kemaluannya
basah karena ludahku. Sejenak aku kaget, karena Mbak Arie mulai
menggeliat, aku cepat- cepat menarik
selimut untuk sekedar menutupi posisi
kakinya. Namun posisinya tidak berubah
sampai ia tertidur kembali. Akupun
semakin penasaran untuk mengulangi kembali, kali ini tidak saja kujilati, tapi aku
mulai menghisap clitorisnya yang kelihatan
semakin memerah, aku seperti kesetanan
menghisap yang lainnya. Aku berusaha
membuka liang kewanitaannya dengan
kedua ibu jariku, kelihatan lubang kemaluannya masih kecil dan terlihat
nyaris rapat. Kujilati lubangnya,
kuusahakan ujung lidahku menerobos
lubang yang sempit itu, sampai pada
saatnya kemudian ia terbangun dalam
keadaan aku masih asyik menjilati bibir kemaluannya.
"Kamu apakan punyaku Dik?".
Tenggorokanku seakan tersekat sesuatu,
sehingga tidak mampu menjawab, apalagi
melihat wajahnya. Naluriku mengatakan
pasti ia benar-benar marah atas kelakuanku tersebut, dan aku tidak tahu,
aku harus bagaimana setelah ini, aku
hanya bisa menunggu. Sampai beberapa
menit kemudian, tangannya meraih
wajahku dan mengangkatnya perlahan-
lahan, sampai wajahku dan wajahnya berhadap-hadapan.
Sekali lagi dia bertanya "Diapakan punyaku
Dik?".
"Aku sayang Mbak Arie..., maafkan aku
Mbak" kataku mengiba. Namun keadaan
yang tidak kuduga-duga, Mbak Arie mencium bibirku.
"Aku sudah merasakannya, sejak Dik Bandi
menciumku di meja tadi", bisiknya
ditelingaku
Akupun langsung melumat bibirnya, tangan
kananku berusaha mencari-cari payudaranya yang hanya seperti puting
saja.
Akupun menyingkap t- shirtnya untuk
mengalihkan ke payudaranya. Kuhisap
putingnya, Mbak Arie hanya mendesis-desis
dan mencengkeram pinggangku erat-erat. Kuhisap bergantian kiri dan kanan puting
payudaranya, sampai akhirnya kuhisap
kembali liang kewanitaannya yang sudah
sangat basah. Kuhisap clitorisnya dengan
gemas, dicengkeramnya kepalaku, ia
menggerakkan bokongnya naik turun, sampai pada saat berikutnya, ditendangnya
pundakku keras-keras sehingga bibirku
terlepas dari liang kewanitaannya.
Belakangan aku ketahui ia mengalami
orgasme yang hebat, sehingga ia tidak bisa
lagi menguasai gerakannya. Kupeluk dia, agar ia segera dapat menguasai dirinya
kembali.
Demi menjaga perasaannya, akupun
berusaha untuk mengeluarkan penisku
yang sudah tersiksa sejak tadi dan
kuperlihatkan kepadanya. Dielus- elusnya penisku, sambil diamatinya cermat- cermat
(mungkin Mbak Arie baru melihat penis
yang membesar itu pertama kali),
dipermainkannya penisku sampai digesek-
gesekannya ke puting payudaranya, sampai
pada saat aku sudah tidak bisa lagi menahan cairan di penisku keluar kemana-
mana.
Mbak Arie terlihat bergerak sekenanya
untuk menghindari.
"Apa itu tadi Dik?".
"Itu spermaku Mbak, itu yang bisa membuat perempuan hamil kalau sempat
masuk ke sini", sambil kuusap liang
kewanitaannya.
Mbak Arie memelukku, akupun
menyambutnya dengan mendekapnya erat-
erat.
Created at 2014-11-26 01:39:18
Back to posts
This post has no comments - be the first one!
UNDER MAINTENANCE